Peran Agama dalam Pengembangan Budaya Lokal
BAB 1
PENDAHULUAN
A.Latar
Belakang
Islam di Indonesia disebut
sebagai suatu entitas karena memiliki karakter yang khas yang membedakan Islam
di daerah lain, karena perbedaan sejarah dan perbedaan latar belakang geografis
dan latar belakang budaya yang dipijaknya. Selain itu, Islam yang datang ke
sini juga memiliki strategi dan kesiapan tersendiri antara lain: Pertama, Islam
datang dengan mempertimbangkan tradisi, tradisi berseberangan apapun tidak dilawan
tetapi mencoba diapresiai kemudian dijadikan sarana pengembangan Islam.
Kedua, Islam
datang tidak mengusik agama atau kepercayaan apapun, sehingga bisa hidup
berdampingan dengan mereka. Ketiga, Islam datang mendinamisir tradisi yang
sudah usang, sehingga Islam diterima sebagai tradisi dan diterima sebagai
agama. Keempat, Islam menjadi agama yang mentradisi, sehingga orang tidak bisa
meninggalkan Islam dalam kehidupan mereka.
B.Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana cara Islam masuk ke Indonesia ?
2. Apa fungsi agama terhadap perkembangan dan perubahan
budaya ?
C.Tujuan
Penulisan
Tujuan dari penulisan ini adalah
mengetahui peran agama dalam pengembangan budaya lokal serta bagaimna caranya
islam masuk ke indonesia.
BAB 2
PEMHASASAN
A. CARA ISLAM MASUK KE INDONESIA
Pada awalnya Islam masuk ke
Indonesia dengan penuh kedamaian dan diterima dengan tangan terbuka, tanpa
prasangka sedikitpun. Bersama agama Hindu dan Budha, Islam memperkenalkan civic
culture atau budaya bernegara kepada masyarakat di negri ini. Para wali
menyebarkan dan memperkenalkan Islam melalui pendekatan budaya, bukan dengan Al
Quran di tangan kiri dan pedang di tangan kanan. Melalui alunan gamelan di
depan masjid Demak, Sunan Kalijaga mengajar masyarakat kalimah syahadat. Seusai
membaca syahadat, para mualaf dipersilahkan memasuki halaman masjid dan
menikmati indahnya alunan gamelan. Di Madura, Pangeran Katandur memberi benih
jagung dan mengajar masyarakat bertani sambil dilatih membaca kalimah syahadat.
Dan ketika panen jagung tiba, masyarakat dibiarkannya merayakan panen dengan
lomba lari sapi yang sekarang dikenal dengan karapan sapi.
Para wali di Jawa demikian juga
berusaha memperkenalkan Islam melalui jalur tradisi, sehingga mereka perlu
mempelajari Kekawian (sastra klasik) yang ada serta berbagai seni pertunjukan,
dan dari situ lahir berbagai serat atau kitab. Wayang yang merupakan bagian
ritual dan seremonial Agama Hindu yang politeis bisa diubah menjadi sarana
dakwah dan pengenalan ajaran monoteis (tauhid). Ini sebuah kreativitas yang
tiada tara, sehingga seluruh lapisan masyarakat sejak petani pedagang hingga
bangsawan diislamkan melaui jalur ini. Mereka merasa aman dengan hadirnya
Islam, karena Islam hadir tanpa mengancam tradisi, budaya, dan posisi mereka.
B. FUNGSI
AGAMA TERHADAP PERKEMBANGAN DAN PERUBAHAN BUDAYA
Dalam
konteks sosial, hubungan fungsional antara agama dan masyarakat sejauh
menekankan aspek-aspek yang rasional dan humanis, atau sosial karitatif dalam
masyarakat, dapat disebut sebagai suatu historical force yang turut menentukan
perubahan dan perkembangan masyarakat.
Dalam hubungan ini, dapat dikatakan bahwa agama mampu menjadi katalisator pencegah terjadinya disintegrasi dalam masyarakat. Dan lebih dari itu, dengan kekuatan yang dimilikinya, agama dapat diharapkan membangun spiritualitas yang memberi kekuatan dan pengarahan dalam memecahkan segala problem sosial, mengatasi rasa frustrasi sosial, penindasan dan kemiskinan. Sosiolog Peter L Berger (1991) mengemukakan hal yang sama, bahwa agama merupakan sistem simbolik yang memberikan makna dalam kehidupan manusia yang bisa memberikan penjelasan secara meyakinkan, serta paling komprehensif tentang realitas, tragedi sosial dan penderitaan atau rasa ketidakadilan.
Memahami agama sebagai gejala kebudayaan tentu bersifat kontekstual, yakni memahami fenomena keagamaan sebagai bagian dari kehidupan sosial kultural. Dalam hal ini agama dikembalikan kepada konteks manusia yang menghayati dan meyakininya, baik manusia sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.
Dalam setiap agama, tentu diajarkan nilai-nilai yang melahirkan norma atau aturan tingkah laku para pemeluknya, walaupun pada dasarnya sumber agama itu adalah nilai-nilai transenden. Keyakinan religius demikian, yang oleh Berger dikatakan dapat membentuk masyarakat kognitif, memberi kemungkinan bagi agama untuk berfungsi menjadi pedoman dan petunjuk bagi pola tingkah laku dan corak sosial. Di sinilah agama dapat dijadikan sebagai instrumen integratif bagi masyarakat. Karena agama tidak berupa sistem kepercayaan belaka, melainkan juga mewujud sebagai perilaku individu dalam sistem sosial.
Intelektual seperti Soedjatmoko (1984) juga mengakui agama menjadi penggerak dan pemersatu masyarakat secara efektif. Karena, agama lebih dari ideologi sekuler mana pun, merupakan sistem integrasi yang menyeluruh. Agama mengandung otoritas dan kemampuan pengaruh untuk mengatur kembali nilai-nilai dan sasaran-sasaran yang ingin dicapai masyarakat. Dengan demikian, fungsi sosial agama adalah memberi kontribusi untuk mewujudkan dan mengekalkan suatu orde sosial (tatanan kemasyarakatan). Secara sosiologis memang tampak ada korelasi positif antara agama dan integrasi masyarakat; agama merupakan elemen perekat dalam realitas masyarakat yang pluralistik.
Dalam hubungan ini, dapat dikatakan bahwa agama mampu menjadi katalisator pencegah terjadinya disintegrasi dalam masyarakat. Dan lebih dari itu, dengan kekuatan yang dimilikinya, agama dapat diharapkan membangun spiritualitas yang memberi kekuatan dan pengarahan dalam memecahkan segala problem sosial, mengatasi rasa frustrasi sosial, penindasan dan kemiskinan. Sosiolog Peter L Berger (1991) mengemukakan hal yang sama, bahwa agama merupakan sistem simbolik yang memberikan makna dalam kehidupan manusia yang bisa memberikan penjelasan secara meyakinkan, serta paling komprehensif tentang realitas, tragedi sosial dan penderitaan atau rasa ketidakadilan.
Memahami agama sebagai gejala kebudayaan tentu bersifat kontekstual, yakni memahami fenomena keagamaan sebagai bagian dari kehidupan sosial kultural. Dalam hal ini agama dikembalikan kepada konteks manusia yang menghayati dan meyakininya, baik manusia sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.
Dalam setiap agama, tentu diajarkan nilai-nilai yang melahirkan norma atau aturan tingkah laku para pemeluknya, walaupun pada dasarnya sumber agama itu adalah nilai-nilai transenden. Keyakinan religius demikian, yang oleh Berger dikatakan dapat membentuk masyarakat kognitif, memberi kemungkinan bagi agama untuk berfungsi menjadi pedoman dan petunjuk bagi pola tingkah laku dan corak sosial. Di sinilah agama dapat dijadikan sebagai instrumen integratif bagi masyarakat. Karena agama tidak berupa sistem kepercayaan belaka, melainkan juga mewujud sebagai perilaku individu dalam sistem sosial.
Intelektual seperti Soedjatmoko (1984) juga mengakui agama menjadi penggerak dan pemersatu masyarakat secara efektif. Karena, agama lebih dari ideologi sekuler mana pun, merupakan sistem integrasi yang menyeluruh. Agama mengandung otoritas dan kemampuan pengaruh untuk mengatur kembali nilai-nilai dan sasaran-sasaran yang ingin dicapai masyarakat. Dengan demikian, fungsi sosial agama adalah memberi kontribusi untuk mewujudkan dan mengekalkan suatu orde sosial (tatanan kemasyarakatan). Secara sosiologis memang tampak ada korelasi positif antara agama dan integrasi masyarakat; agama merupakan elemen perekat dalam realitas masyarakat yang pluralistik.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Islam masuk ke Indonesia dengan penuh kedamaian dan diterima
dengan tangan terbuka, tanpa prasangka sedikitpun. Bersama agama Hindu dan
Budha, Islam memperkenalkan civic culture atau budaya bernegara kepada
masyarakat di negri ini. Para wali menyebarkan dan memperkenalkan Islam melalui
pendekatan budaya.
Dalam benak sebagian besar orang, agama adalah produk langit
dan budaya adalah produk bumi. Agama dengan tegas mengatur hubungan manusia
dengan Tuhan dan manusia dengan manusia. Sementara budaya memberi ruang gerak
yang longgar, bahkan bebas nilai, kepada manusia untuk senantiasa mengembangkan
cipta, rasa, karsa dan karyanya. Tetapi baik agama maupun budaya difahami
(secara umum) memiliki fungsi yang serupa, yakni untuk memanusiakan manusia dan
membangun masyarakat yang beradab dan berperikemanusiaan.
Sejalan dengan perkembangan budaya
dan pola berpikir masyarakat yang materialistis dan sekularis, maka nilai yang
bersumberkan agama belum diupayakan secara optimal. Agama dipandang sebagai
salah satu aspek kehidupan yang hanya berkaitan dengan aspek pribadi dan dalam
bentuk ritual, karena itu nilai agama hanya menjadi salah satu bagian dari
sistem nilai budaya; tidak mendasari nilai budaya secara keseluruhan.
Aktualisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan sekarang ini menjadi sangat penting terutama dalam memberikan isi dan makna kepada nilai, moral, dan norma masyarakat. Apalagi pada masyarakat Indonesia yang sedang dalam masa pancaroba ini. Aktualisasi nilai dilakukan dengan mengartikulasikan nilai-nilai ibadah yang bersifat ritual menjadi aktivitas dan perilaku moral masyarakat sebagai bentuk dari kesalehan social.
Aktualisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan sekarang ini menjadi sangat penting terutama dalam memberikan isi dan makna kepada nilai, moral, dan norma masyarakat. Apalagi pada masyarakat Indonesia yang sedang dalam masa pancaroba ini. Aktualisasi nilai dilakukan dengan mengartikulasikan nilai-nilai ibadah yang bersifat ritual menjadi aktivitas dan perilaku moral masyarakat sebagai bentuk dari kesalehan social.
B.REFERENSI
Yayah
Khisbiyah(2003)Agama dan Pluralitas Budaya Lokal.Surakarta,Pusat Studi Budaya
dan Perubahan Sosial.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus